Minggu, 23 Agustus 2015

Ketika Impian Kecil Terbakar Ego

Sejak aku lulus S2 di salah satu universitas negeri di Yogyakarta, ia memutuskan untuk berpisah. Ia adalah Mas Sigit; pria yang aku cintai selama 7 tahun. Aku sangat mencintainya, bahkan aku sulit melupakan Mas Sigit. Sulit sekali untuk melupakan, sebab aku dengannya telah bersama selama 7 tahun.
Aku selalu ingat betapa bahagianya aku ketika bersamanya. Kami jalan bersama, makan bersama, susah senang pun bersama, bahkan kami melalui bencana gempa pun bersama.
Ketika gempa di Yogya, aku hanya berpegang pada uang Rp 20.000,- selama 4 hari dan Mas Sigit yang membantuku. Ibuku bahkan tak bisa mengunjungiku ke Yogya, karena pada saat gempa memang sulit untuk bepergian keluar kota.
Hari demi hari, aku semakin mencintainya, walau Mas Sigit kerap kali mengajak putus karena aku yang teramat manja dan terlalu bergantung padanya. Aku sering kali menangis ketika ia selalu memutuskanku sepihak. Bahkan setelah wisuda S2 ku pun, aku menangis karena kami berpisah.
Selama berpacaran, kami telah merencanakan masa depan bersama. Membangun sedikit demi sedikit impian kecil kita dan berharap akan menjadi kenyataan suatu saat nanti. Aku dan Mas Sigit memang sering bertengkar, namun kami pun cepat berbaikan. Impian-impian itu masih terkenang dan semakin membuatku sesak setiap kali aku mengingat bahwa kita telah berpisah untuk selamanya. Kita tak mungkin menyatu.
Pada saat itu Mas Sigit ingin membawaku ke Jakarta, dan hidup bersama di sana. Tapi aku tak bisa meninggalkan orang tuaku sendirian di Kalimantan. Sebagai anak perempuan satu-satunya milik Ibuku, aku tak tega bila meninggalkan beliau. Ayah dan Ibuku telah bercerai sejak aku kecil, karena hak asuh jatuh pada Ibuku maka aku dibesarkan dengan baik oleh Ibu.
Aku memutuskan untuk hidup di Kalimantan dan aku pun mengajak Mas Sigit ke Kalimantan. Aku ingat sekali perkataan Mas Sigit bahwa ia akan selalu mau mengikutiku di mana pun aku hidup. Tapi pada akhirnya Mas Sigit berubah pikiran. Ia pun marah-marah dan tak mau ketika aku mengajaknya ke Kalimantan. Mas Sigit begitu kesal dan memutuskan hubungan begitu saja tanpa mengucap sepatah katapun. Memang didalam agama, perempuan yang telah dinikahi wajib mengikuti suami kemana pun suami berada. Namun keputusanku sudah bulat untuk tetap memilih ke Kalimantan.
Aku selalu berpikir bahwa Ibuku lah yang telah melahirkanku, membesarkanku, menyekolahkanku hingga tingkat ini, selalu membiayaiku, dan Ibuku lah yang lebih kusayangi di dunia ini, sehingga aku rela diputuskan oleh Mas Sigit walau hatiku hancur dan terluka.
Setahun berlalu, aku pun masih mengingatnya namun aku sudah tak berharap lagi padanya. Aku selalu mengingat kejadian-kejadian lucu, romantis, konyol ketika kami masih bersama, walau aku tahu itu hanyalah kenangan buruk. Entah aku akan menyesalinya atau bersyukur, aku pun tak tahu. Tapi aku selalu bersyukur karena aku pernah bertemu dengannya, walau pada akhirnya kami tak menyatu.
Aku berusaha keras mencari pekerjaan kesana kemari, agar aku selalu sibuk hingga lupa untuk mengingatnya. Saking sibuknya aku untuk melupakannya, bahkan aku tak tahu jika Ibuku di Rumah Sakit dan dalam keadaan koma.
Ibuku telah menikah lagi dengan pria yang lebih muda 6 tahun darinya, sejak aku kuliah di Yogyakarta.Sebenarnya, aku dengan berat hati menyetujui keinginan Ibuku untuk menikah lagi. Tapi aku kasihan dengannya yang hidup sendirian tanpa pendamping dan teman cerita selama aku tinggalkan untuk menuntut ilmu. Selama pernikahannya dengan suami barunya, Ibuku pernah sekali keguguran dan hasilnya akan sulit memiliki anak di usia 40an ke atas. Suami baru Ibuku bukanlah seorang duda, melainkan masih bujangan dan yang pasti selalu mengharapkan seorang anak.
Sesampainya di RS, aku bertemu dengan Ibuku yang sedang koma. Rambut putihnya telah tumbuh banyak. Wajahnya sudah tak muda lagi. Ku basuh wajahnya, dan aku berdo'a untuk kesadaran beliau. Sambil menggenggam tangannya, kubacakan beliau Surah Yaasin, dengan harapan bisa membuatnya cepat sadar. Setelah usai membaca Surah Yaasin, aku membisikkan sesuatu pada Ibu.
"Bu.. Febi ikhlas jika Ibu pergi.."
Tak lama setelah itu, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu sepertinya telah menungguku datang untuk membacakannya Surah Yaasin, lalu beliau pergi dengan tenang. Aku menitikkan air mata, seolah-olah belum percaya bahwa Ibu telah meninggal dunia.
"Innalillahi wa inna illaihi raji'un.."
Aku berusaha lebih tegar lagi menghadapi hidup, walau sebenarnya cukup sulit setelah kematian Ibuku.
Lewat beberapa jam setelah waktu kematian Ibuku diucapkan dokter, aku menghubungi Mas Sigit hanya sekedar memberitahukan bahwa Ibuku telah meninggal dunia setelah koma 1 hari. Aku bercerita padanya bahwa Ibuku terpeleset di kamar mandi saat setelah mandi, lalu ia dilarikan ke RS terdekat. Mas Sigit pun ikut berduka setelah mendengar berita itu dan ia berusaha membuatku tegar.
Beberapa jam setelah kami bercakapan di SMS, Mas Sigit pun memberi kabar bahwa keesokan harinya ia akan menikah dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai Model di Jakarta.
Aku berusaha menguatkan diri atas segala hal yang kuhadapi sekarang. Aku telah kehilangan Ibuku, dan keesokan hari Mas Sigit sah menjadi suami orang lain. Mungkin inilah takdir yang harus aku jalani dan lewati. Sedih sekali kehilangan orang-orang yang kamu cintai, bukan takut karena kehilangan cinta, tapi hanya takut terlupakan.
Hari-hari kulewati terasa berat, mataku bengkak karena telah banyak menangis. Aku berusaha menguatkan diri, membaur dengan orang-orang agar aku tak terlalu sedih. Aku bercerita dengan keluargaku apa yang kurasakan dan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Setidaknya sebelum meninggal, almh. Ibuku pernah berkata bahwa ia bangga telah membuatku menjadi seperti sekarang ini. Beliau merasa sudah tak ada lagi beban dihidupnya, dan merasa senang karena menjalankan tugasnya dengan baik selama ini.
Ketika aku mengingat kata-kata beliau, aku baru merasa bahwa itulah kata terakhir yang beliau bisa katakan sebelum beliau dipanggil Allah SWT.
Aku bahagia, karena telah menjalankan tugasku sebagai anak dengan baik dan telah membanggakan Ibuku. Aku berusaha keras mencari pekerjaan dan menghidupi diriku sendiri. Kini aku telah bekerja di Bank ternama di Indonesia. Sedikit demi sedikit aku memahami bahwa didalam hidup kita harus terus belajar ikhlas. Sebab, jika kita tak ikhlas, maka Allah SWT pun tak akan meridhoi setiap langkah kita.
3 tahun berikutnya, aku dipertemukan dengan seorang laki-laki yang tak lain adalah temanku. Ia bernama Saleh dan usianya lebih muda 1 tahun dariku. Kami menjadi akrab setelah pertemuan yang tak disengaja. Aku cerita dengan adik sepupuku yang sudah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri. Ia selalu paham akan problema percintaanku selama 3 tahun terakhir yang selalu saja gagal. Tapi pada saat itu, adikku langsung bicara padaku seolah memperingatkanku.
"Masih jaman kah pacaran? Kalo memang berani, datangin keluarganya. Jangan cuma mau status pacaran aja tapi nggak dinikahin. Kasihan kak Febi dong kalo gak nikah-nikah. Ngomong sama Saleh sana. Jangan pacaran yg tp ujung-ujungnya nggak nikah!"
Dengerin adikku ngomong begitu, aku langsung terdiam dan berpikir bahwa apa yang ia katakan ada benarnya. Setelah disarankan adikku, aku pun memberitahukan pada Saleh niatku itu dan Saleh pun sebenarnya ingin berniat menikahiku.
Setelah berpacaran beberapa bulan dan Saleh pun mengajak orang tuanya untuk melamarku. Kami mengumpulkan uang bersama untuk menyelenggarakan pernikahan kami.
Akhirnya kami menikah, dan memiliki seorang anak setahun kemudian. Keluarga kami pun selalu harmonis dan bahagia.
Beberapa bulan setelah melahirkan, Mas Sigit menghubungiku dan bercerita tentang rumah tangganya. Ia terlihat menyedihkan dan merasa menyesal telah meninggalkanku dan memilih menikahi seorang Model.
Ternyata aku baru tahu bahwa Mas Sigit memang telah mengkhianatiku, ia sengaja membuat perkara agar kami putus dan ia bisa bersama wanita pilihannya. Ego telah membakar habis impian-impian kecil yang telah dibangun, sehingga yang tersisa kini hanyalah penyesalan. Aku memang pernah merasa terpuruk beberapa tahun kebelakang, namun aku selalu yakin bahwa Allah SWT senantiasa bersamaku dan menguatkanku. Mungkin inilah jalan terbaik dari Allah SWT untukku dan untuk Mas Sigit.
Allah SWT mungkin memang mempertemukan kami untuk saling belajar, bukan untuk saling menyatu.
Aku dan keluargaku selalu harmonis, ditambah dengan kehadiran si kecil. Namun mungkin tidak untuk kehidupan keluarga Mas Sigit.

- TAMAT -